Cerita di Balik Secangkir Kopi

“Lo di mana?”

Sebuah pertanyaan sangat singkat masuk di ponsel saya.

“Di rumah. Baru selesai ngerjain tugas. Kenapa?”

Saya pun membalasnya seketika.

“Ketemuan di Kafe Kita setengah jam lagi, bisa? Penting!”

“Oh, ok.”

Oke di kepala saya ketika itu adalah kesanggupan untuk menemani si pemberi pesan agar – paling tidak – ia bisa merasa lebih tenang, tapi kemudian saya berpikir, dari rumah ke Kafe Kita di Senayan 30 menit? Rasanya saya akan terlambat. Tapi ya sudah usaha saja dulu. Tutup laptop dan langsung pergi.

***

Kejadian di atas terjadi beberapa tahun lalu. Si pemberi pesan singkat tersebut adalah sahabat perempuan saya yang sedang sering mengalami mood naik dan turun disebabkan hubungannya dengan pacar berjarak jauh. Kami berdua senang berbagi cerita di Kafe Kita sambil ditemani satu cangkir kopi Cappucino dan Espresso.

“Gw pusing, Dev.” – sahabat saya memulai ceritanya. Dan terus berlanjut sampai tidak sadar secangkir kopi yang ia pesan sudah tandas.

Saya? Hanya mendengarkan sambil sesekali menyesap cangkir kopi Cappucino saya.

“Lo tau gak Dev, kenapa gw suka banget sama kopi?” – entah kenapa beberapa orang yang sedang menghadapi masalah, terkadang bisa sangat filosofis. Termasuk sahabat saya ini.

Sumber: www.afletcherphoto.com
Sumber: http://www.afletcherphoto.com

“Gak tau, Mir” – jawab saya sangat singkat, seakan memberi kesempatan ia melepas uneg-uneg terdalamnya.

“Kopi tuch kayak hidup tau Dev. Rasanya paiiiiit banget. Ya bisa sich manis kalo lo nuang gula banyak-banyak ke dalamnya tapi justru dari paitnya kopi, badan gw bisa segar dan pikiran bisa tenang lagi. Adrenalin naik banget! Persis kayak hidup, kan? Sering ngasih kesedihan, kepahitan, tapi itu semua bikin lo tambah kuat. What doesn’t kill you makes you stronger.”

Kata-kata Namir sungguh saya aminkan dalam hati. Iya, hidup itu luar biasa banget. Sang Penciptanya yang Maha Luar Biasa.

“Iya, Mir. Gw setuju.”

“Sekarang gw paham kenapa hubungan gw rumit banget. Bukan untuk diakhiri tapi untuk diyakini bahwa kami bisa terus berjuang bersama. Yakin kalau hubungan ini patut dan berharga untuk diperjuangkan.”

“Mas, kopi lagi ya secangkir. Ada Nescafe gak, Mas?” pesan Namir untuk cangkir kopi keduanya siang itu.

Dan Mas waiter-nya pun langsung mengiyakan permintaan Namir.

“Kopi aja Dev ada macam-macam. Ada dari Toraja, ada dari Papua, ada merk Nescafe, ada merk apapun kan? Artinya apa? Pilihan. Kita mau minum kopi rasa apa? Sama juga kayak hidup. Punya pilihan. Mau maju, bertahan, atau menyerah.”

Mata Namir ketika itu penuh dengan rasa optimisme.

“Lo kenapa senyum?” tanya Namir ke saya setelah cangkir Nescafe tersajikan di hadapannya.

Saya pun seketika langsung menjawab, “Iya. Hidup itu punya banyak pilihan. Selain mimpi, hal yang mahal adalah pilihan. Gak setiap orang kan Mir punya pilihan. Ada yang memang hanya bisa menerima, tanpa diberi pilihan lain.”

Anggukan Namir terlihat saat itu. “Gw memilih untuk bertahan dan berjuang saat ini, Dev.” Seketika senyum pun hadir di muka Namir dan air mata yang dari awal kami berjumpa ternyata sudah mengering dengan sendirinya.

“Put your faith on it, then”.

***

Percayakah kalian bahwa kadang waktu bisa mengubah sebuah hubungan?

Saya merindukan Namir. Sungguh merindukannya. Sungguh malu untuk menulis ini, tapi waktu yang berjarak membuat obrolan di Kafe Kita menjadi sebuah memori, yang entah kapan lagi dapat terulang. Kabar tentangnya sudah tidak saya dengar lagi, sampai suatu hari saya bertemu dengan seorang kawan lama kami.

“Dev, Namir mau nikah katanya tahun depan.”

Sebuah berita membahagiakan datang tentangnya, bukan dari Namir sendiri. Tapi tak apa. Ini sudah lebih dari cukup.

“Lo punya nomor hapenya?”

Dahi teman saya berkerut, “Nomor Namir? Ya gak punya. Gw punyanya nomor si Adam. Mau?”

Sekelebat obrolan panjang di Kafe Kita benar-benar seperti film yang sedang terulang. Namir yang pusing dengan hubungan jarak jauhnya dan ternyata hari ini saya mendengar hubungan jarak jauh itu akan memulai fase baru di pernikahan. Sweet! 

“Boleh dong. Berapa?”

“Kosong delapan lima empat…”

***

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya saya melihat Kafe Kita sudah tidak ada lagi di pojokan Senayan itu. Tunggu, saya ingat kalau saya belum jadi-jadi menghubungi Adam, calon suami Namir.

R.I

14 thoughts on “Cerita di Balik Secangkir Kopi

  1. Bagaimanapun kopi ya rasanya seperti itu, pahit. Terserah maunya diapakan, diminum tanpa gula, campur susu, dikocok sampai berbusa bahkan dibekukan pun bisa. Dan anehnya … kopi itu bisa diminum. Ini yang nemu kopi keren banget, sedikit sekali biji2an pahit menjadi terkenal. Kopi, coklat, mlinjo, termasuk contohnya.

    Like

      1. saya penikmat kopi. Sampai-sampai ada kopi yang malah membuat saya semakin ngantuk, lha mumet tho. Begitu juga kehidupan ini, meskipun itu kita sukai dengan sangat, kadang terselip juga hal-hal yang membosankan.

        Like

    1. Iyes, Mbak. Hidup gak bisa diliat doang tapi harus diselami…yg tampak tenang di permukaan, kadang beriak bgt di dalamnya. Duh, jadi ngomongin hidup banget. Kopi mana kopi?😂

      Like

  2. Hahaha, memang begitu Dev, kalau lagi diterpa kesulitan biasanya seseorang menjadi lebih filosofis, hehe 🙂 .

    Btw metaforanya bagus loh. Hidup memang seperti kopi, ada banyak sekali pilihan, dan setiap orang memiliki favoritnya masing-masing. Sama seperti hidup kan, jalan hidup seseorang dengan yang lainnya tentu tidak sama, hehehe 🙂

    Like

Leave a comment