Tentang Patah

Siapa di sini yang belum pernah merasakan patah hati, patah semangat, patah akan mimpi?

Saya meyakini, sejatinya hidup pasti ada masa di mana kita harus berhenti (sejenak) karena merasa semua yang direncanakan patah (seketika). Pun dengan yang menulis tulisan ini.

Rasanya, tidak terhitung sudah berapa kali patah akan berbagai rencana, mimpi dan harapan. Tapi setiap kali hal tersebut menghantam, saya secara otomatis teringat kata-kata seorang teman lama saat masih kuliah. Ah, semoga dia baik-baik saja. Katanya, “Setiap kali jatuh untuk ke-7 kalinya, lo harus bangkit untuk ke-8 kalinya!”

Sesemangat itu ia mengatakannya.

Dan saat itu pemahaman saya belum sampai seperti sekarang. Rasanya, “Capek kali!”

Tapi bukankah memang hidup seperti itu?

Mana pernah sebuah jalan mulus tanpa hambatan. Siapa yang di kepalamu terbesit saat disebut “tidak pernah susah”? Kaum-kaum privilege?

Percaya deh, mereka pun juga ada hambatannya. Just because you don’t see something doesn’t mean it isn’t there.

Semakin ke sini pun semakin harus kuat, harus percaya bahwa jika tantangan yang sama terus menerus membuat kita patah, ya mungkin karena kita belum lulus terhadap tantangan tersebut. Oleh karena itu, diuji terus dan terus untuk hal yang sama. Pun, jika dihadapi berbagai macam masalah silih berganti, ya bukankah pasti ada rencana Allah di balik semua itu?

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al. Ankabut; 2)

Dan seorang guru pernah juga menyampaikan, “Apapun hal buruk yang terjadi kepada diri kita, bukan karena Allah membenci kita tapi karena dosa-dosa kita sendiri. Tapi sebaliknya, jika ada hal-hal baik yang terjadi kepada diri kita, semata karena rahmatNya Allah.”

Jadi, siapapun yang saat ini sedang patah – istirahatlah sejenak. Tidak apa-apa kok untuk menepi sejenak. Nanti, jika sudah merasa lebih baik, mari kembali ke sini ya. Kembali berjuang. Dari titik nol lagi, gak apa-apa. Tidak ada yang menyuruhmu untuk selalu unggul dalam perjalanan kan?

Source: here

Yang diinginkan hanya satu, teruslah berproses menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin. Bukan membandingkan dengan perjalanan orang lain, melainkan dengan perjalananmu sendiri.

Patah, tidak apa-apa. Berjalan dengan luka, bukan sesuatu yang buruk kok. Terus saja berjalan, suatu saat luka itu dengan ijin Allah akan sembuh, selama kita bersungguh-sungguh mendekat kepadaNya.

Kita bikin cerita baru hari ini ya. 🙂

Deva

Kita Tuh Cuma Sebentar…

Di dunia.

Yang lama dan abadi ya di akhirat nanti.

Deg!

Saat Sahabat saya berkata seperti ini via telepon – saya merasa takut.

Iya, takut.

Karena punya apa saya untuk berbekal ke akhirat nanti?

“Pas aku kena Covid ya Dev, itu sih yang selalu berasa di hati. Aku takut saat aku wafat nanti, gak punya bekal euy,” kata Sahabatku.

Alhamdulillah saat ini dia sudah sembuh, pun demikian dengan keluarganya.

Pembicaraan via telepon tadi membuat saya mengevaluasi diri dan dia pun melanjutkan, “Tapi ya gpp kita selalu berusaha aja untuk jadi orang baik. Istiqomah untuk selalu ada di jalanNya itu sulit tapi paling ndak kita bisa mau selalu berusaha.”

Saya pun mengangguk, membenarkan.

***

Belakangan ini saya resah memikirkan cepatnya hidup ini berjalan, meskipun saat pandemi. Coba dibuka segala kanal media sosial. Semua content creator berlomba untuk memunculkan kreativitas mereka di level yang bagi saya, susah banget untuk diikuti. Akhirnya introspeksi diri, “Wah harus upgrade diri!”

Sehingga pembicaraan Sahabat saya tadi benar-benar membuat saya tersadarkan bahwa: hidup ndak bisa dibiarkan mengalir begitu saja. Sayang dengan waktu yang sangat mahal ini!

Benar bahwa sesekali istirahat dan menepi sangat tidak apa-apa. Tapi rasanya buat saya pribadi, saya sudah terlalu lama menepi.

Saat menulis ini, saya teringat dengan sebuah video di Tiktok yang semalam saya lihat (btw ya saking udah lamanya ndak rajin nulis di sini jadi ndak sadar kalau video Tiktok ndak bisa diupload di sini ya :’) ) – di video itu si content creator bilang klo kita sampai saat ini belum pernah kena Covid berarti Tuhan tuh sayang banget sama kita. Harus bersyukur.

Saya setuju.

Bahkan saya pun setuju jika ada yang bilang siapapun yang sedang kena Covid artinya ya Tuhan sayang dengannya. Karena bukankah saat sakit, dosa-dosa kita digugurkan dan diangkat derajatnya, selama kita sabar? 🙂

Again, it’s all about perspective.

Life is really short! Semoga semua peristiwa di sekitar kita bisa terus mengingatkan untuk berbekal ke dunia yang lebih kekal yaitu akhirat. Apapun jalan yang sedang kita lalui saat ini.

Ladeva

Labelling

Ada gak di sini yang pernah merasa insecure karena penilaian orang lain terhadap diri sendiri?

Merasa bahwa: kok bisa sih mereka mikir aku kayak gitu? Jahat banget!

Atau merasa bahwa apa yang dilakukan sudah benar, tapi dinilai berbeda oleh orang lain. Alih-alih mengklarifikasi ke kita, mereka justru menjustifikasi negatif dengan mudahnya. Kemudian pelan-pelan berpikir: apa iya kali ya aku kayak yang mereka bilang?

Lambat laun memercayai label negatif yang orang sematkan ke kita.

Label yang awalnya tidak kita percayai.

Lalu, semalam menemukan twit Mufti Menk ini:

Never allow people who use words so irresponsibly to sabotage your self-image! – Mufti Menk

Menurut saya, yang sangat mengetahui diri sendiri ya kita sendiri. Benar, ada orang-orang terdekat yang juga mengenal kita. Penilaian mereka penting ndak? Penting, untuk kamu terus upgrade kualitas diri dan disampaikan dengan cara yang bijak. Tapi jika yang menilai buruk dirimu adalah orang di luar circle A1-mu, lalu dengan cara yang tidak arif – untuk apa dipikirkan?

Begini, orang bebas berbicara apapun tentangmu.

Tapi kamu juga bebas merespon hal tersebut.

Jangan semua penilaian orang, terutama yang sekiranya bisa mengecilkan valuemu, didengarkan. Namun, jika penilaian tersebut juga disematkan oleh orang terdekatmu, bisa jadi memang hal tersebut perlu dikoreksi dari dirimu.

Dan bagi yang terbiasa menilai orang: stop it!

Berhentilah menilai orang, berasumsi dengan karakter orang. Apalagi jika tidak terlalu mengenalnya. Tahan semua penilaian ke orang lain. Karena kamu tidak tahu apa dampak dari kata-katamu. Pernah terpikirkah bahwa kata-kata itu bisa membuat seseorang depresi?

Kita tidak pernah tahu secara pasti apa saja yang sudah dilalui seseorang. Sedekat apapun kita. Kenapa? Karena bukan kita yang menjalaninya. Bisa dari luar, mereka baik-baik saja. Tapi siapa yang bisa menebak isi hati orang lain?

Semoga kita dimudahkan Allah untuk mengamalkan hadist:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Dan bagi yang saat ini sedang berjuang untuk kembali memercayai valuemu lebih baik dari penilaian yang orang sematkan ke dirimu, “Kamu lah yang paling mengenal dirimu sendiri dan teruslah berusaha menjadi orang yang disukai Allah. Bukan disukai mahluk.”

L

Tentang Hijrah

Kemarin alhamdulillah saya mendapat kesempatan mendampingi seorang perempuan yang hendak menjadi mualaf.

Kisaran 23 tahun dan merantau dari Medan ke Jakarta.

Saat ditanya kenapa ingin masuk Islam, ia menjawab: saya punya teman sekosan, saya liat dia sholat – hati saya tenang.

Alhamdulillah prosesi syahadatnya mudah dan lancar, biidznillah.

Tapi, yang agak menarik adalah saat selepas prosesi, beberapa jamaah masjid memberikan sejumlah infak via kami untuk beliau.

Bahkan seorang teman – yang qadarullah Mualaf juga – langsung menghampiri saya dan memberikan sedekah saat itu juga, dengan nominal yang cukup banyak. Masya Allah.

Seketika pikiran saya kembali ke kata-kata abang saat ada fenomena artis yang sudah hijrah namun kembali ke jalan sebelumnya.

“Kemana kita saat ia membutuhkan pertolongan saat hijrah? Jika seseorang hijrah, jangan lepaskan tangannya. Bantu ia dalam ekonominya.”

Allahu ya kariim.

Jadi, saat seseorang hijrah, tidak cukup hanya ucapkan doa dan pelukan. Tapi juga perlu dibantu dari segi materi dan psikologinya.

“Mereka hijrah, pasti mulai semuanya dari nol,” ujar teman saya.

Lagi, lagi hati saya berucap: betapa manfaatnya muslim yang kuat. Bisa selalu menebarkan manfaat kapan dan dimana saja.

Semoga Allah mampukan kita untuk terus bermanfaat ke sesama. Aamiin…

Jkt, 10 Agustus 2019

Ladeva

Let’s Talk

Beberapa waktu belakangan ini, hati dan pikiran saya sedang riuh sekali. Terlalu banyak berpikir terhadap berbagai kemungkinan – yang belum pasti akan terjadi.

Takut terlalu awal – menjadi tidak sehat dalam cara berpikir.

Perlahan dikeluarkan, mungkin ringan (sesaat), namun rasanya belum sampai ke orang yang tepat.

Seorang teman memberikan saran, “Tidurlah. Beristirahat sejenak” tapi bagaimana bisa masalah selesai dengan tidur? Padahal mungkin itu saran yang ia berikan agar saya ambil jarak sejenak dengan kekhawatiran yang tidak berlandaskan apapun.

Saya pun meengikuti saran tersebut.

Seeketika terbangun, memang masalah belum langsung selesai namun istirahat yang cukup membuat mood lebih baik sehingga bisa lebih jernih dalam berpikir.

Dan alhamdulillah, setelah bicara dengan orang yang insyaa Allah tepat – rasanya langsung plong. Mengeluarkan semuanya dengan tanpa rasa takut akan disalahkan atau alih-alih diacuhkan.

Just focus on yourself. Don’t take any decision just because peer pressure – anykind of pressure.

Thank you, Kakak – for always be here. Lagi-lagi diyakini bahwa jarak tinggal hanya tentang hitungan angka di atas kertas, tapi hati yang terpaut pasti akan dapat melalui itu semua.

Sometimes, all you need is just talking to the right person.

Ladeva