Bismillah
Akhirnya punya sedikit kemampuan, kekuatan dan keinginan untuk menuliskan apa yang saya hadapi selama 14 hari ke belakang ini.
Apa yang di kepala kita semua ketika mendengar 14 hari di kondisi saat ini?
Yes, isoman atau isolasi mandiri.
Setelah 1 tahun bertahan agar ring 1 tidak terpapar Covid-19, qadarullah wa masyaa fa’ala terjadi juga.
Saat itu, Kamis/ 25 Juni 2021, saya sedang berkunjung ke rumah orang tua (iya, sudah satu bulan terakhir saya tinggal di rumah terpisah). Saat itu, keponakan saya R (baru naik kelas 6 SD) sedang sakit 4 hari kurang lebih. Sampai akhirnya dia mengeluh kalau rasanya tidak bisa mencium apapun dengan jelas. Saya stimulasi dengan menyuruhnya mencium Vicks dan parfum. Katanya, “lumayan sih tapi gak jelas.” Mukanya suram. Saat itu, saya sudah mulai khawatir tapi belum mau mengeluarkan statement ada kemungkinan terpapar Covid karena dia lagi pilek (jadi mungkin hidungnya tersumbat) plus bundanya sedang kambuh asmanya (yang dipikir akibat dari vaksin Astra Zeneca).
Jumat/ 26 Juni 2021, saya kembali memeriksa R. Dan yes, penciumannya semakin tidak berfungsi. Akhirnya pagi itu juga saya langsung meminta bundanya untuk membawa R Swab Antigen. Panik seketika. Mencoba deny. Tapi tetap harus dilakukan, kan?
Long story short, R, bundanya dan A (kakak R, kelas 3 SMP) saya temani Swab Antigen di Prodia. Selang 2.5 jam hasil dikirimkan via email dan qadarullah wa masyaa fa’ala mereka reaktif.
Saat itu, serumah gempar. Mau tidak mau, orang tua, asisten rumah tangga dan 1 sepupu yang sedang menginap harus diswab juga, kan?
Berangkatlah kami untuk diswab. Saat itu, saya tidak diswab karena saya merasa baik-baik saja dan toh baru ketemu 1 malam, belum terlalu intens berkomunikasi dengan mereka. Hasilnya orang tua saya positif, dan alhamdulillah asisten rumah tangga negatif.
Akhirnya kami sekeluarga pindah ke rumah baru (yang memang sudah direncanakan untuk ditempati di hari Minggunya tapi karena ada diagnosa ini akhirnya kami pindah 1 hari lebih cepat). Semua persiapan isoman sebisa mungkin dipenuhi.
Pusingnya saya cukup tergambari dari linglungnya saya menuju rumah baru.
Seharusnya jarak tempuh dari rumah lama ke rumah baru hanya 30 menit, tapi karena hari itu rasanya batin dan fisik lelah sekali, saya tersesat! Jarak tempuh menjadi 1,5 jam! Ya Rabb…
Jadi jam 10 malam, saya baru tiba di rumah kami yang baru.
Setiba di sana, setelah memastikan semua baik-baik saja (meskipun kami sadar bahwa kami sedang tidak baik-baik saja), saya pulang ke rumah sendiri.
Allahu ya kariim…sedih sudah tidak tertahankan.
Minggu (27 Juni 2021), saya memutuskan untuk swab antigen. Alhamdulillah hasilnya negatif. Lega!
Artinya, bisa berdaya untuk keluarga semampu saya.
Dan ya…selama 2 pekan saya tidak bertemu keluarga. Hanya bisa mengirimkan kebutuhan mereka via kurir. Berkomunikasi via telepon dan vcall. Laporan tingkat saturasi dilakukan 2-4 kali dalam sehari.
Bahkan nama WAG keluarga menjadi: Kita pasti pulih. 😀
Hari Minggu itu juga mendapat informasi bahwa abang saya positif terpapar. Sehingga “pasien” menambah 1 orang, total 6 orang.
Alhamdulillah banyak sekali pihak yang membantu. Bahkan kata-kata di tulisan ini tidak dapat menggambarkan rasa syukur saya kepada semua orang tersebut, termasuk kakak saya yang ada di USA. Fisik kami berjauhan, rindu sudah tidak tertahan. Yang seharusnya bulan ini mereka datang ke Indonesia, harus ditangguhkan karena Covid. Tapi meski demikian, kakak tidak melepaskan perhatiannya kepada keluarga yang terpapar. Saya terharu sekali dan menjadi bensin: “Jika kakak yang jauh sekali sangat perhatian, maka saya tidak punya alasan sedikit pun untuk mengeluh!”
Bismillah, day by day kami jalani dengan penuh doa, ikhtiar dan tawakal.
Hari-hari awal berat.
Uni saya (bunda R dan A) yang mempunyai asma, saturasinya sempat di bawah 95, tepatnya di angka 94. Sesak, susah tidur. Tapi pelan-pelan kami dorong untuk tidak stres – meskipun itu wajar. Papa saya pun yang mempunyai comorbid TBC juga kami dorong untuk berlatih nafas dalam. Alhamdulillah ya Rabb, kondisi semakin membaik.
Hari ke 10 kondisi sudah stabil.
Lalu di hari ke-11 saat kami sedang mencari informasi untuk PCR, saya membaca di beberapa media bahwa jika sudah melalui isoman 14 hari maka tidak perlu PCR.
Lalu, karena sempat bingung, saya pun mention Sahabat saya, dokter Cahya mengenai kebingungan saya.
Lalu Uni saya pun berdiskusi dengan dokter di Puskesmas, yang kurang lebih menyampaikan hal yang sama. Sehingga rencana PCR pun kami urungkan.
Namun demikian, kami terus pantau suhu tubuh semuanya dan alhamdulillah berada di angka yang normal.
14 hari yang benar-benar roller coaster.
Saya sempat memutuskan untuk mengurangi membaca berita di medsos karena fisik dan batin sudah subhanallahu :’)
Tapi bukankah Allah selalu ada di samping kita?
Pertolongan datang dari segala arah, tetangga-tetangga baru yang siap menolong, bahkan tiada henti mengirimkan makanan siap santap, saudara yang tidak lepas memberikan perhatian, doa dan pertolongan. Semoga Allah membalas kebaikan semuanya, dengan sebaik-baik pahala. Aamiin!
Bagi Sahabat yang masih berjuang dengan fase ini, Allah akan kuatkan insyaa Allah selama kita benar-benar mencari pertolonganNya.
Jangan lengah dengan protokol kesehatan dan kejar vaksin secepat mungkin!
Dan bagi Sahabat yang sedang berduka semoga Allah kuatkan, Allah peluk dan Allah berikan takdir terbaikNya.
Kita mungkin tidak bertemu secara offline namun doa teriring bagi siapapun di sini, semoga Allah angkat pandemi ini dan gantikan semua duka menjadi kebahagiaan dan keberkahan bagi kita semua.
Aamiin…
NB:
Kondisi saat 14 hari lalu, orang tua saya sudah full vaksin Sinovac beberapa bulan lalu, Uni saya vaksin AZ, dan saya vaksin Sinovac.
Ladeva
Like this:
Like Loading...