Lakukan Lupakan

Seorang teman pernah berkata, “Hal yang sering bikin kita patah itu karena perasaan “merasa” dan “keakuan”. Padahal itu asumsi, penilaian kita semata. Faktanya kita tidak memiliki peran sebesar itu kok sampai perlu mengatakan “aku merasa udah all out, dsb” atau “aku merasa udah maafin tapi, dsb””.

Padahal yang perlu kita lakukan sesederhana: lakukan dan lupakan.

Iya, tidak mudah. Tapi perlu terus dilatih. Semisal kita melihat tim junior ternyata sudah bisa berlari kencang, kita harus support. Bukan merasa tersaingi. Atau jika ada seseorang yang meninggalkan kita setelah semua support diberikan, ya lupakan saja. Introspeksi kenapa hal itu bisa terjadi, namun bukan berarti menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

Nilailah segala sesuatu seproporsional mungkin. Tidak kurang tidak lebih. Mendewasa dalam menilai, bijak dalam bersikap.

Pelan-pelan ya kita bertumbuh dalam pikiran, perasaan dan tindakan.

Ladeva

Celotehan

Saat menulis ini, aku belum tahu akan membahas tentang apa lho.

Dari tadi sore, ingin nulis tentang konsep mindfulness yang lagi pengen aku pelajari karena kurasa itu bisa sejalan dengan konsep minimalist living yang sedang aku jalani.

Terus buka laptop. Tapi malah ngerjain tugas kantor. Well…gak ada yang nyuruh juga sih padahal. Mudah ke-distract aku tuh.

Saat mau rehat, eh iseng buka IG dan yes akhirnya kedistract lagi dengan beberapa pikiran dari story beberapa orang yang saya follow. Tentang perjuangan mereka agar sehat fisik dan batin, prestasi, dan mimpi. Mostly kan isi story seperti itu ya.

Lalu, akhirnya aku saat nulis ini, aku ingat percakapanku dengan seorang sahabat tadi pagi – sepulang kami dari sebuah event.

Waktu itu berharga banget ya. Klo ndak kita isi dengan kegiatan positif, ya merugi. Dan kemungkinan besar disibukkan dengan kegiatan yang gak manfaat.

Dan itu sejalan dengan ungkapan Imam Syafii

Jika kita tidak disibukkan dengan kebaikan, maka niscaya kita akan disibukkan dengan keburukan.

Buat saya, hal itu menyeramkan sih. Kita pikir mau “me time” eh gak terasa waktu udah malam aja, sedangkan kita ndak melakukan yang bermanfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Bersembunyi di balik kata-kata, “me time”.

Oh iya, sore tadi juga saya dapat email dan notifikasi dari WordPress bahwa hari ini, ranselijo.com ini domainnya sudah diperpanjang otomatis. Terus nyengir sendiri, wow dep sayang banget uangnya kalo kamu gak rutin nulis lagi. :’)

Jadi yah inilah ikhtiar aku menulis di sini – karena memang rasanya saya sudah butuh untuk kembali menulis seperti dulu lagi.

Ladeva

Tentang Hijrah

Kemarin alhamdulillah saya mendapat kesempatan mendampingi seorang perempuan yang hendak menjadi mualaf.

Kisaran 23 tahun dan merantau dari Medan ke Jakarta.

Saat ditanya kenapa ingin masuk Islam, ia menjawab: saya punya teman sekosan, saya liat dia sholat – hati saya tenang.

Alhamdulillah prosesi syahadatnya mudah dan lancar, biidznillah.

Tapi, yang agak menarik adalah saat selepas prosesi, beberapa jamaah masjid memberikan sejumlah infak via kami untuk beliau.

Bahkan seorang teman – yang qadarullah Mualaf juga – langsung menghampiri saya dan memberikan sedekah saat itu juga, dengan nominal yang cukup banyak. Masya Allah.

Seketika pikiran saya kembali ke kata-kata abang saat ada fenomena artis yang sudah hijrah namun kembali ke jalan sebelumnya.

“Kemana kita saat ia membutuhkan pertolongan saat hijrah? Jika seseorang hijrah, jangan lepaskan tangannya. Bantu ia dalam ekonominya.”

Allahu ya kariim.

Jadi, saat seseorang hijrah, tidak cukup hanya ucapkan doa dan pelukan. Tapi juga perlu dibantu dari segi materi dan psikologinya.

“Mereka hijrah, pasti mulai semuanya dari nol,” ujar teman saya.

Lagi, lagi hati saya berucap: betapa manfaatnya muslim yang kuat. Bisa selalu menebarkan manfaat kapan dan dimana saja.

Semoga Allah mampukan kita untuk terus bermanfaat ke sesama. Aamiin…

Jkt, 10 Agustus 2019

Ladeva

Let’s Talk

Beberapa waktu belakangan ini, hati dan pikiran saya sedang riuh sekali. Terlalu banyak berpikir terhadap berbagai kemungkinan – yang belum pasti akan terjadi.

Takut terlalu awal – menjadi tidak sehat dalam cara berpikir.

Perlahan dikeluarkan, mungkin ringan (sesaat), namun rasanya belum sampai ke orang yang tepat.

Seorang teman memberikan saran, “Tidurlah. Beristirahat sejenak” tapi bagaimana bisa masalah selesai dengan tidur? Padahal mungkin itu saran yang ia berikan agar saya ambil jarak sejenak dengan kekhawatiran yang tidak berlandaskan apapun.

Saya pun meengikuti saran tersebut.

Seeketika terbangun, memang masalah belum langsung selesai namun istirahat yang cukup membuat mood lebih baik sehingga bisa lebih jernih dalam berpikir.

Dan alhamdulillah, setelah bicara dengan orang yang insyaa Allah tepat – rasanya langsung plong. Mengeluarkan semuanya dengan tanpa rasa takut akan disalahkan atau alih-alih diacuhkan.

Just focus on yourself. Don’t take any decision just because peer pressure – anykind of pressure.

Thank you, Kakak – for always be here. Lagi-lagi diyakini bahwa jarak tinggal hanya tentang hitungan angka di atas kertas, tapi hati yang terpaut pasti akan dapat melalui itu semua.

Sometimes, all you need is just talking to the right person.

Ladeva

Terima Apa Adanya; Susah?

Pagi ini ngeliat-liat lemari dan sengaja mengambil kaos paling bawah, berarti kan itu baju yang paling jarang terpakai ya?

Dan saat saya memakainya, seketika berpikir, “ya pantas aja jarang dipakai, lah wong kegedean.”

Hal itu membuat saya keingetan jaman kecil dulu. Mama saya berujar, “klo baju-baju pergi udah gak mau dipake, pake aja di rumah.”

Saya tersenyum.

Iya ya, ketika kita ke luar rumah, kita usaha banget nyari baju yang enak dipakai, enak dilihat orang lain, syukur-syukur berbuah pujian. Astaghfirullah…

Sedangkan di rumah, bebas menggunakan baju apapun. Padahal sebenarnya orang di rumah lah yang paling berhak mendapatkan kerapihan, kesegaran dan kecantikan penampilan kita.

Pikiranku pun juga lari ke: mungkin kita serasa bebas menggunakan baju sejelek apapun di rumah karena orang di rumah sudah menerima kita apa adanya. Berbeda dengan orang-orang di luar rumah, yang mungkin dalam pikiran kita: gw harus tampil ciamik dulu nih agar dapat atensi dari mereka.

Semakin kita nyaman dengan lingkungan, semakin kita menomor duakan penampilan. Karena merasa: mereka sudah menerima kita apa adanya. Iya gak sih?

Lalu proses seseorang menerima kondisi apa adanya itu, pasti butuh proses, yang tidak mudah – mungkin?

Lalu, bukankah sebelum menuntut orang lain menerima kita apa adanya, kita perlu menerima diri kita sendiri dulu apa adanya?

Source: Pinterest

Ladeva