Disclaimer: Ini adalah serial tulisan tentang orang-orang yang saya temui di perjalanan, seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya. Perjalanan tidak melulu mengenai objek wisata yang indah tapi lebih dari itu, selalu ada manusia di perjalanan yang memberi banyak senyum.
***
Namanya Tella.
Kali pertama saya berkenalan dengannya adalah saat kami mengikuti trip ke Kiluan, Lampung. Saat itu, ia terlihat selalu lemas. Seorang teman berkata, “Dia baru sembuh dari sakit” – sebuah penjelasan yang diberikan kepada saya tanpa saya harus bertanya lebih dulu.
Beberapa bulan kemudian, kami pun bertemu lagi saat ikut trip ke Kangean, Pulau Madura. Tella yang sekarang sudah jauh lebih segar dan cair berinteraksi dengan semua orang di trip ini. Walaupun saya tidak bisa berhenti tersenyum saat mata saya melihat dia satu-satunya peserta trip yang membawa tas Charles and Keith ke sebuah kapal nelayan.
Berhari-hari kami di Kangean, pendapat saya ke Tella semakin berubah. Dia bukan lagi perempuan yang lemas dan tidak seberdaya saat di Kiluan. “Iya, waktu itu gw baru sembuh dan nyokap gak tahu kalo gw ke Kiluan. Nyokap taunya gw di Jakarta aja,” jelas Tella saat itu.
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya dan Tella bisa berteman cukup baik. Satu per satu cerita pun keluar dari mulut kami masing-masing sebagai jembatan untuk lebih saling mengenal. Dibesarkan di keluarga Batak yang tinggal di Bandung, sifat Tella pun merupakan perpaduan dari budaya tersebut. Semakin kaya pengalaman lagi dengan keputusannya untuk bekerja di Jakarta. Lebih takjubnya, di sela-sela kesibukannya, tiap Minggu dia berusaha selalu memenuhi kewajibannya untuk beribadah di Gereja.
Mungkin benar orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang”.
Sosok sembrono – yang sering lupa meletakkan barang, jalannya pelan, badannya lemas – ternyata di dalamnya tersimpan berbagai cerita yang sering membuat saya terkaget-kaget dan muncul rasa kagum kepada Tella, yang usianya 1 tahun lebih muda dari saya.
“Aku tuh ya di keluarga besar sering banget diledekin tiap kali aku cuci piring, nyapu, atau beres-beres rumah. Keluarga besar tuh gak tahu apa aja fase yang sudah dilewatin oleh keluarga intiku. Tahunya adalah kami baik-baik saja. Makanya, ketika aku sudah ada di fase sekarang, aku sangat bersyukur. Dulu doaku hanya 1 Dev. Semoga aku bisa bayar sekolah sampai kelas 2 SMU. Cukup 2 SMU. Saking susahnya jaman dulu. Orang tahunya kan Tella itu bisa beli apa aja sekarang. Tapi orang-orang gak tahu betapa susahnya hidup Tella dulu. Gak tahu besok mau makan apa. Bersyukur bangetlah bisa sampai di titik yang seperti sekarang.”
Saya, belajar banyak dari pengalaman hidup Tella. Bagaimana dia yang dulu bahkan tidak tahu bisa bayar uang sekolah atau tidak, ternyata bisa meraih beasiswa di universitas swasta termahal di Bandung dan lulus dengan nilai memuaskan di jurusan Teknologi Informasi. Sekarang? Dia sudah menjadi Campaign Manager sebuah perusahaan di bidang Digital Marketing Asia.

“I keep believe every time I am on my lowest point “the best is yet to come” and believe that God has a better plan for me. If it’s not meant to me, it means that God has better plan for me. I just try to believe He always good to me and He knows everything. Dan jika gw meninggal nanti, gak usah diingat juga gak masalah. Yang penting, selama gw hidup gw pengen jadi ciptaan yang maksimal walaupun kenyataannya aku sering jatuh ke kemalasan”.
Tella, thanks for sharing! 🙂
R.I
Keren perjuanganya.
LikeLike
Banget!
LikeLike
Deva….
Setelah kemarin mengubek perut dengan foto2 makanan (walau gak bisa makan tapi tetep bikin ngeces), sekarang bikin mata gw berair baca ini.
Kisah Mba Tella itu inspiratif banget. Dan lo nulisnya dengan sangat baik. Berasa banget dah…. Kok jadi pengen kenal sama dia. Kutipan akhir itu loh…. ngena banget. Eh dia yang gendong anak itu ya?
LikeLike
Iya, yang digendong itu adik sepupunya klo gak salah. Aku belajar banyak dari dia. Sok atuh kenalan sama dia #eaaaa
LikeLiked by 2 people
itu kok eaa nya bikin curigation ya.
LikeLike
x))))))))
LikeLike
Kadang kita liat orang gimana dia sekarang aja ya, enggak tau dulunya gimana, fenomena gunung es, yg keliatan cuma atasnya doang. Eh iya gak sih?
LikeLike
Bener banget, Nad. Kita taunya oh dia enak ya tapi kita gak tau berapa jam dia tidur untuk mencapai titik tersebut. *ambil kaca*
LikeLiked by 1 person
Bagus ceritanya Dev, menyentuh
LikeLike
menyentuh 🙂
sedang di jaman sekarang anak anak yang dapat fasilitas sekolah lebih lebih. Malah cenderung menyiakan.
Andai mereka tahu bagaimana perjuangan menjadi orang tua.
LikeLike
😥
LikeLike
Semoga Mbak tella dapat menjadi Inspirasi saya untuk selalu semangat dalam belajar. 🙂
LikeLike
Aamiin…doa yang sama juga buat yang nulis…
LikeLike
Mbaak kereen tulisanya 😦
Kata2nyaa juga jd terharu hehe
LikeLike
Tella yang keren. Aku mah nulis doang. 😀
LikeLike
Semoga ikut tertular semangat Tella,
pengalaman itu memang mahal ya Dev, beruntungnya mereka yang bisa mendengar langsung dari pelakunya dan tak kalah bersyukurnya mereka yg sempat membaca kisahnya.
LikeLike
Adem banget, Uni. 🙂
LikeLike
Dev, kamu nulisnya bags banget,,,
aku suka kata-kata di paragraf terakhir
LikeLike
Itu kata-kata Tella…aku mah apa, cuma remah-remah rengginang. 😛
LikeLike
tenang Dev, remah rengginang juga enak kok 😀
LikeLike
*colek dagu Ira*
LikeLike
aaaawwww Devaaa 😀
LikeLike
Emang Bener , kalau gak kenal maka gak akan tau gimana si orang tsb dll. Namanya unik ya “Tella”
LikeLike
Kepanjangannya Ketella pohon. 😛 *siap-siap dimarahin Tella*
Thanks ya, Nis. 🙂
LikeLike
Mba Deva…. keren mengharukan…. 😥
Paragraf terakhir itu dikutip dari Tella mba? Izin copy ya mba paragrafnya.
Benar-benar jadi penguatan banget buat saya pribadi 🙂
LikeLike
Silahkan Sandrine. Itu kata-kata Tella, aku hanya nulis ulang. 🙂
LikeLike
ceritanya mirip suami aku lho dev.
manalah orang pada nyangka kalo suami dulunya ob+pelayan alfamart, jualan burger, jadi tukang batu segala macem. jadi insinyur pun karena dapet beasiswa dikti.
suami, mbak tella, sosok2 inspiratif yaa.. ga menyerah sama keadaan. saluuuut! 😀
LikeLike
Salut juga untuk Suamimu, San. Keren banget lah yang bisa tetap bertahan meski badai saat itu kencang. 🙂
LikeLike
Don’t, don’t ever underestimate. Don’t judge the book by it’s cover.
Saya cuma berharap semoga saya yang membaca tulisan ini tidak sekadar membaca, tapi bisa berjuang sekuat Mbak Tella. She’s really tough. The best is yet to come 🙂
Thank’s for sharing 🙂
LikeLike
True, Gara. Do not ever underestimate any one. Thanks for reading. 🙂
LikeLike
Iya Dev. Terkadang banyak orang maunya hanya melihat suksesnya aja ya tanpa mau tahu bahwa di balik kesuksesan itu ada banyak sekali perjuangan berat yang harus dilalui…
LikeLike
True, Zilko. Semua pasti ada prosesnya dan jarang yang instan.
LikeLike
Kalo baca kisah perjuangan kayak gini, suka bikin malu ya (baca : aku) yang hidup (walau nggak kaya) tapi alhamdulillah cukup, gak bisa berprestasi seperti beliau. Salam buat mbak Tella
LikeLike
🙂
Yang penting kita terus belajar setiap hari, Omnduut.
LikeLike
Salut buat Tella, God bless her always 🙂
LikeLike
Aamiin! 😀
LikeLike
travel itu emang seru yah mba dev.. bs ktmu berbagai macam orng. hehe. kadang2 orng bs lebih bnyk cerita sama orng2 yg baru kenal soal masa lalu. hehe.. dan darisana, kita juga bs belajar bnyk.. salut sama si mba tella. hehe.
LikeLike
Iyaaa itu kenapa aku suka banget berjalan (traveling). Gak musti traveling yang mahal atau jauh, yang penting kita mau untuk terus kenalan dengan orang-orang baru. 🙂
LikeLiked by 1 person
Keren Dev. Maju terus Tella dan aku suka how you tell her story. You have a knack for this Dev.
LikeLike
Thank you as always, Mbak Mikan. 🙂
LikeLiked by 1 person
Inspiratif sekali. Thanks for sharing this gorgeous story. Yang aku selalu percaya, Tuhan menggenggam semua doa, dan akan dilepaskan satu persatu disaat yang tepat 🙂
LikeLike
True. Allah Maha Tau 🙂
LikeLike
the best is yet to come. huhuhu saya jadi sering malu kalau baca kisah2 kayak gini. 😥
LikeLike
Saya aja yang nulis malu 😥
LikeLike