Ini sudah hari ke-5 di 2022. Masihkah ada yang membuat resolusi di 2022? Bagaimana perjalanan resolusi di pekan pertama 2022 ini? Semoga apapun yang sedang direncanakan, Allah berikan kemudahan dan keberkahan di dalamnya. Aamiin…
Biasanya setiap akhir tahun atau ya paling lambat awal tahun, saya bisa menemukan ‘one word of the year’. Dimulai dari tahun 2015, 2016, lalu melompat ke 2018 dan 2020. Tapi di 2022 ini, huft saya tidak menemukan kata yang tepat untuk menjadi goals utama di 2022. Bukan karena pesimis, bukan karena tidak tahu mau melakukan apa, hanya saja – rasanya saya tidak benar-benar memikirkan plan ke depan seperti apa.
Kenapa bisa seperti ini? Ntah.
Pertanyaan ini terus bergelayut di benak saya dari akhir Desember hingga hari ini. Terselip doa di dalam hati bahwa semoga hal ini akan berujung kepada rasa cukup di hidup saat sekarang.
Di 2021 lalu, saya mengambil keputusan besar sekali yaitu memilih hidup sendiri. Yang biasanya tinggal bersama keluarga besar, sekarang sendiri. Bukan karena ada masalah, alhamdulillah ndak ada – hanya saja, merasa sudah waktunya untuk lebih maksimal belajar mandiri. Tidak ada kata terlambat kan untuk belajar mandiri? π
Selama lebih kurang 7 bulan tinggal sendiri seperti ini, banyak pola pikir dan mungkin perilaku saya yang berubah. Semakin lebih mudah bersyukur atas hal sekecil apapun dan belajar lebih menghargai kebersamaan bersama orang-orang tersayang. Jadi semakin mengenal diri sendiri, hal apa yang membuat nyaman, dan vice versa.
Tunggu deh, tetiba saya ada ide – hmm bagaimana jika di 2022 ini saya menjadikan kata ‘bersyukur’ sebagai landasannya? One word 2021; bersyukur.
Menarik juga! π
βDan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; βSesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedihβ (QS. Ibrahim: 7).
Jadi ingat juga sebuah quote dari Ustadz Nouman Ali Khan, “We are the people of Alhamdulillah.”
Wah asik nih, sambil nulis eh dapat ide hehe…
Bismillah ya, semoga di 2022 ini saya secara pribadi dan kita semua bisa lebih bersyukur atas apapun yang Allah takdirkan dan tentu saja berharap untuk selalu menebar manfaat di manapun. Aamiin…
Kalau kalian, ada goals utama ndak di 2022 ini? Cerita-cerita yuk. π
Siapa di sini yang belum pernah merasakan patah hati, patah semangat, patah akan mimpi?
Saya meyakini, sejatinya hidup pasti ada masa di mana kita harus berhenti (sejenak) karena merasa semua yang direncanakan patah (seketika). Pun dengan yang menulis tulisan ini.
Rasanya, tidak terhitung sudah berapa kali patah akan berbagai rencana, mimpi dan harapan. Tapi setiap kali hal tersebut menghantam, saya secara otomatis teringat kata-kata seorang teman lama saat masih kuliah. Ah, semoga dia baik-baik saja. Katanya, “Setiap kali jatuh untuk ke-7 kalinya, lo harus bangkit untuk ke-8 kalinya!”
Sesemangat itu ia mengatakannya.
Dan saat itu pemahaman saya belum sampai seperti sekarang. Rasanya, “Capek kali!”
Tapi bukankah memang hidup seperti itu?
Mana pernah sebuah jalan mulus tanpa hambatan. Siapa yang di kepalamu terbesit saat disebut “tidak pernah susah”? Kaum-kaum privilege?
Percaya deh, mereka pun juga ada hambatannya. Just because you don’t see something doesn’t mean it isn’t there.
Semakin ke sini pun semakin harus kuat, harus percaya bahwa jika tantangan yang sama terus menerus membuat kita patah, ya mungkin karena kita belum lulus terhadap tantangan tersebut. Oleh karena itu, diuji terus dan terus untuk hal yang sama. Pun, jika dihadapi berbagai macam masalah silih berganti, ya bukankah pasti ada rencana Allah di balik semua itu?
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al. Ankabut; 2)
Dan seorang guru pernah juga menyampaikan, “Apapun hal buruk yang terjadi kepada diri kita, bukan karena Allah membenci kita tapi karena dosa-dosa kita sendiri. Tapi sebaliknya, jika ada hal-hal baik yang terjadi kepada diri kita, semata karena rahmatNya Allah.”
Jadi, siapapun yang saat ini sedang patah – istirahatlah sejenak. Tidak apa-apa kok untuk menepi sejenak. Nanti, jika sudah merasa lebih baik, mari kembali ke sini ya. Kembali berjuang. Dari titik nol lagi, gak apa-apa. Tidak ada yang menyuruhmu untuk selalu unggul dalam perjalanan kan?
Yang diinginkan hanya satu, teruslah berproses menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin. Bukan membandingkan dengan perjalanan orang lain, melainkan dengan perjalananmu sendiri.
Patah, tidak apa-apa. Berjalan dengan luka, bukan sesuatu yang buruk kok. Terus saja berjalan, suatu saat luka itu dengan ijin Allah akan sembuh, selama kita bersungguh-sungguh mendekat kepadaNya.
Tulisan ini terinspirasi dari Live IGnya Koh Ruby yang menjawab pertanyaan followers-nya yang kurang lebih seperti ini, “Koh gimana caranya menghadapi bos yang minta kita ready 24/7 padahal gak urgent sama sekali?”
Jawaban Koh Ruby very simple, “diemin aja”.
π
Lalu jawaban selanjutnya, besoknya di kantor jelaskan alasan kamu mendiamkan pesan bos tersebut. Misal bahwa jam 8 malam itu sudah waktunya menghabiskan waktu dengan keluarga, me time, dsb.
Terus kalau dimarahi gimana?
Koh Ruby bilang, “Ya gak apa-apa dimarahi sekali, yang penting kita sudah coba untuk menyampaikan pendapat. Dan jika hal ini terus berulang padahal perform kita sudah bagus tapi terus dikejar 24/7 ya perlu cari di tempat lain.”
Wah secepat itukah memutuskan untuk resign?
Jangan terlalu responsif, guys!
Artinya komunikasi antar atasan dan bawahan memang harus dibangun dengan baik banget. Terutama di masa working from home ini.
Buatku ya kita harus menganalisa dulu karakter atasan, ada di generasi mana atasan kita ini. Apakah boomer, milenial atau bahkan mungkin usianya lebih muda dari kita.
Kenapa harus dianalisa? Ya karena pengenalan sistem working from home ini kan massif dilakukan saat pandemi ya. Belum semua kantor dan atasan dapat beradaptasi dengan baik mengenai sistem ini.
Working from home sama sekali bukan berarti kerja 24 jam 7 kali seminggu, ready anytime saat kantor butuhin kita. Tetap harus ada barrier nya. Harus ada sistem kerjanya.
Dan itu sih yang saya lakukan.
Ah masa Dep, bukannya kamu malam juga masih suka kerja?
Yes, suka dan kadang juga berdiskusi dengan tim.
Tapi lagi, itu ada penyesuaian sana sini.
Gini, pelan-pelan ya.
Saya menilai diri saya dulu ya. I am workaholic. Beneran. I love what I do. Dan di rumah sangat fleksibel sih, terlebih karena sekarang juga tinggal sendiri. Pun jika lagi bersama keluarga, ya mereka very support. Karena pengenalan sistem working from home sudah saya jalani sejak dulu. Artinya apa? Artinya, ya saya santai saja jika ada anggota tim yang mengajak diskusi di atas jam 7 malam.
Setiap hari ready?
Nope. Ada masa kok di mana saya juga mendiamkan pesan dari tim. Biasanya ya kalau saya sudah kelelahan. Saya meresponnya baru besok paginya. Dan mereka ya ok-ok saja.
Jadi apa yang perlu digarisbawahi? Knowing the urgency and your capacity.
Tapi ini tuh bos hubungi gak pagi gak siang gak malam, gak ada yang urgent, Dep!
Nah kalau saya ya sedikit banyak setuju dengan pendapat Koh Ruby, penting banget untuk dikomunikasikan ke atasan. Kalau atasan yang bijak, dia akan bisa memilah prioritas. Sebelum ngobrol dengan atasan, penting banget buat baca doa agar gak salah-salah kata dan ekspresi hehe…
Dep pernah gak balas chat atasan pas di luar jam kerja?
Pernah lah.
Karena apa? Karena ndak urgent.
Dan diresponnya gimana sama atasan?
Ya santai aja karena emang gak urgent. Biasanya sih reminder to do list besok apa aja.
Bargaining position saat hendak berdiskusi dengan atasan juga tidak kalah penting lho.
Jangan sampai nih, kita pengennya atasan tuh A, B, C, D yang baik-baik dan keren deh tapi performance kita di kantor ya biasa saja. Biasanya negosiasi akan lebih mudah kalau semua tugas dikerjain dengan excellence. Percaya deh! π
Dep, terus gimana nih bawahanku ada yang burnout? Kreativitasnya mentok! Menghilang dia dari peredaran selama 2 hari!
Well, itu pun pernah saya alami dengan anggota tim.
Jawabannya sederhana tapi perlu jungkir balik untuk melakukannya yaitu: give them time.
Apalagi kalau di dunia kreatif. Gak bisa dipaksa. Beneran. Well, bisa namun hasilnya biasanya sih…di bawah ekspektasi atau bahkan di bawah standar. Jadi yawda kasih mereka waktu aja untuk mengambil jeda. Dan ketika mereka sudah kembali, jangan dimarahin! π
Sependek pengalaman saya ya kalau kerjanya tuh penuh tekanan, akan jauh sih dari kenyamanan dan hasil yang excellent. Seperti yang saya sebutkan di atas saya workaholic bahkan dulu perfeksionis banget. Tapi ya seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa akan sulit lho bekerja dengan standar diri yang terlalu sempurna sedangkan hal ini bisa terlalu menjadi beban tim. Artinya apa? Harus ada proses adjustment. Dan ini sangat harus dikomunikasikan dengan tim.
***
Burnout bisa sangat mungkin dialami oleh setiap orang, apapun levelnya.
Yang perlu disadari bersama bahwa bekerja di dunia perkantoran ya harus bareng bersama tim. Gak bisa lari sendiri, gak bisa maju sendiri. Harus seirama. Adjustment terus saja setiap saat. Yang penting ada kesepakatan antar tim.
Sekarang tugas masing-masing pribadi untuk mencari solusi dari burnout-nya tersebut. Tips dari saya nih, yang saya lakukan jika burnout:
Tutup akses WA, Telegram dan email dari laptop.
Yoga atau workout.
Netflix-an.
Ngobrol sama keluarga dan/ atau teman-teman.
Window shopping
Youtube-an atau baca buku yang ringan-ringan.
Jalan-jalan ke luar rumah, either ke supermarket atau ngeliat yang ijo-ijo. π
Atau kalau ke-7 hal itu masih kurang, cara teranyar adalah TIDUR. Yeap, tidur! Karena kurangnya kualitas tidur itu bisa memengaruhi kualitas mood lho. Yang lagi burnout, coba cek kualitas istirahatmu seperti apa ya. π
Kalau freelance burnout gimana? Ya kamu yang tahu border dan kapasitasmu. Kamu buat pertimbanganmu sendiri, apakah oke mengejar uang yang besar tapi sulit untuk me-time atau kamu mau berkorban waktu personal demi cuan?You decide. Karena dunia freelance ya bosnya itu dirimu sendiri. Seketika kamu tidak pintar dalam manajerial waktu dan energi maka akan menyulitkan diri sendiri, kan? π
Tumben nih nulis cukup panjang. :’)
Satu hal terakhir, kalau lagi burnout karena banyaknya kerjaan – tutup laptop, liat ke langit, inhale dan exhalesambil pelan-pelan bersyukur bahwa di masa pandemi ini kamu masih bisa kecapekan karena kerja. Padahal di luar sana banyak yang kecapekan karena mencari kerja untuk kebutuhan sehari-hari.
Be grateful ya.
βDan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; βSesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…β (QS. Ibrahim: 7).
Saat Sahabat saya berkata seperti ini via telepon – saya merasa takut.
Iya, takut.
Karena punya apa saya untuk berbekal ke akhirat nanti?
“Pas aku kena Covid ya Dev, itu sih yang selalu berasa di hati. Aku takut saat aku wafat nanti, gak punya bekal euy,” kata Sahabatku.
Alhamdulillah saat ini dia sudah sembuh, pun demikian dengan keluarganya.
Pembicaraan via telepon tadi membuat saya mengevaluasi diri dan dia pun melanjutkan, “Tapi ya gpp kita selalu berusaha aja untuk jadi orang baik. Istiqomah untuk selalu ada di jalanNya itu sulit tapi paling ndak kita bisa mau selalu berusaha.”
Saya pun mengangguk, membenarkan.
***
Belakangan ini saya resah memikirkan cepatnya hidup ini berjalan, meskipun saat pandemi. Coba dibuka segala kanal media sosial. Semua content creator berlomba untuk memunculkan kreativitas mereka di level yang bagi saya, susah banget untuk diikuti. Akhirnya introspeksi diri, “Wah harus upgrade diri!”
Sehingga pembicaraan Sahabat saya tadi benar-benar membuat saya tersadarkan bahwa: hidup ndak bisa dibiarkan mengalir begitu saja. Sayang dengan waktu yang sangat mahal ini!
Benar bahwa sesekali istirahat dan menepi sangat tidak apa-apa. Tapi rasanya buat saya pribadi, saya sudah terlalu lama menepi.
Saat menulis ini, saya teringat dengan sebuah video di Tiktok yang semalam saya lihat (btw ya saking udah lamanya ndak rajin nulis di sini jadi ndak sadar kalau video Tiktok ndak bisa diupload di sini ya :’) ) – di video itu si content creator bilang klo kita sampai saat ini belum pernah kena Covid berarti Tuhan tuh sayang banget sama kita. Harus bersyukur.
Saya setuju.
Bahkan saya pun setuju jika ada yang bilang siapapun yang sedang kena Covid artinya ya Tuhan sayang dengannya. Karena bukankah saat sakit, dosa-dosa kita digugurkan dan diangkat derajatnya, selama kita sabar? π
Again, it’s all about perspective.
Life is really short! Semoga semua peristiwa di sekitar kita bisa terus mengingatkan untuk berbekal ke dunia yang lebih kekal yaitu akhirat. Apapun jalan yang sedang kita lalui saat ini.
Riuhnya pemberitaan mengenai Covid membuat setiap orang menceritakannya dengan berbagai versi. Sampai saya membaca twit menarik:
“Dulu kita patungan untuk ulang tahun teman, sekarang patungan untuk berita duka teman.”
Dan itu juga terjadi kepada saya dan beberapa teman lainnya.
Sebuah twit yang lahir dari kondisi riil saat ini.
Lalu tiba saya di percakapan dengan seorang Sahabat,
Jika saya tidak salah ingat, percakapan ini terjadi karena ketika itu saya merasa “penuh” dengan berita duka setiap kali membuka Whatsapp, Twitter, IG dan media sosial lainnya. Ditambah kondisi keluarga saya yang juga sangat butuh perhatian dan support. Perasaan “penuh” seperti itu, rasanya belum pernah saya rasakan sebelumnya. Tapi alhamdulillah, Allah titipkan rasa untuk tidak menyerah dan harus terus berdaya untuk sesama.
Iya, berdaya.
Saya suka sekali dengan kata ‘berdaya’ sejak dua tahun belakangan dan menjadikan kata itu sebagai ‘One Word of 2020″. Dan di kondisi yang seperti ini, benar-benar membutuhkan sesama orang berdaya untuk saling membantu, urun tangan. #wargabantuwarga
Saya sering menggumamkan dalam hati: “Betapa beruntungnya seseorang yang Allah titipkan karunia rejeki, kesehatan, tenaga, dan waktu sehingga bisa berdaya untuk sesama.”
Jadi jalan rezeki orang lain, dengan ijin Allah pastinya.
Lantas saya berpikir, ada masa dimana tidak semua orang mampu kita bantu. Karena pasti ada keterbatasan, seberapa kecilnya pun. Sehingga memang menghadapi kondisi ini, kita tidak boleh lepas sedikitpun dari memohon pertolongan Allah. Sekalipun ada 1 juta orang berdaya namun Allah tidak mengijinkan 1 juta orang berdaya tersebut untuk membantu, maka tidak ada gunanya.
Pikiran saya pun kemudian berlari kepada perintah Allah untuk menjadi hambaNya yang bertaqwa.
Sebuah proses yang tidak mudah, berliku dan banyak tantangannya. Tapi bukankah itu sebuah hal yang patut kita perjuangkan? Sepelik apapun kondisi kita saat ini?
Yang saat ini sedang Allah titipkan berbagai nikmat, semoga Allah gerakkan hatinya untuk selalu urun tangan membantu sesama dan semoga dibalas dengan limpahan kasih sayang dan kebaikan.
Yang saat ini sedang berada di bawah, semoga Allah turunkan bala bantuan dari segala arah.
Berdaya itu nikmat. Dan berbagi tidak pernah akan mengurangi kenikmatan itu sendiri. Semoga kita semua dimampukan untuk menjadi manusia berdaya, dalam segala rupa dan keahlian.
Kuatkan diri ya Sahabat, jika sedang lemah – menepilah sejenak. It’s ok to be not ok, for a while π